KABARMALAYSIA.COM — Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjalin kerja sama dengan Jepang dan Malaysia dalam upaya meningkatkan kapasitas pengembangan obat untuk penyakit infeksi. Kolaborasi ini bertujuan memperkuat peran periset Indonesia dan Malaysia dalam menemukan obat bagi penyakit seperti malaria, amebiasis, dengue, dan tuberkulosis.
Proyek kerja sama ini telah dimulai sejak 27 September 2021 dan direncanakan berlangsung selama lima tahun. Dalam proyek ini, BRIN menggandeng IPB University sebagai mitra riset dalam negeri, sementara dari Jepang dan Malaysia turut serta institusi terkemuka seperti The University of Tokyo, Nagoya Institute of Technology, Bozo Research Center, Universiti Putra Malaysia, dan Universiti Teknologi Mara.
Deputi Bidang Fasilitasi Riset dan Inovasi BRIN, Agus Haryono, menyatakan bahwa Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menangani penyakit infeksi seperti tuberkulosis dan demam berdarah dengue. Ia menyoroti bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam penelitian pengembangan obat berkat kekayaan sumber daya hayatinya. Selain itu, ia juga menekankan pentingnya peningkatan kapasitas riset dan inovasi guna mendukung transformasi ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Indonesia termasuk negara dengan beban TB tertinggi di dunia, dengan ribuan kasus baru muncul setiap tahun. Meskipun upaya global telah dilakukan, kasus TB resistan terhadap obat terus meningkat, sehingga pengobatan menjadi semakin sulit. Sementara itu, demam berdarah yang ditularkan melalui nyamuk terus menyerang jutaan orang di Indonesia, menambah beban sistem kesehatan nasional. Dengan keterbatasan opsi pengobatan yang ada, pengembangan obat dan terapi baru menjadi semakin mendesak,” ujar Agus.
Menurutnya, proyek Science and Technology Research Partnership for Sustainable Development (SATREPS) memiliki nilai strategis dalam memperkuat ekosistem riset pengembangan obat di Indonesia serta mencari solusi bagi tantangan kesehatan global, khususnya penyakit menular. Oleh karena itu, ia menegaskan perlunya fokus lebih dalam pada optimasi struktur senyawa kandidat obat dan uji non-klinis di tahun-tahun mendatang.
Agus menambahkan bahwa Indonesia memiliki salah satu keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, dengan ribuan spesies tanaman, organisme laut, dan mikroorganisme yang belum sepenuhnya dimanfaatkan sebagai bahan baku obat. Banyak pengobatan tradisional yang telah digunakan masyarakat adat terbukti memiliki potensi antimikroba dan antivirus, namun belum divalidasi secara ilmiah. Oleh karena itu, penelitian yang sistematis diperlukan untuk mengembangkan sumber daya alam ini menjadi obat-obatan yang efektif.
“Sumber daya hayati kita memiliki potensi besar untuk pengembangan senyawa anti-TB dan antivirus baru. Dengan berinvestasi dalam bioprospeksi dan penelitian produk alami, kita dapat mengidentifikasi molekul bioaktif yang berpotensi menjadi dasar bagi obat-obatan baru. Kolaborasi antara praktisi pengobatan tradisional dan ilmuwan modern dapat menjembatani kesenjangan antara pengetahuan asli dan pengembangan farmasi mutakhir,” jelasnya.
Pada acara yang digelar di Kawasan Sains dan Teknologi (KST) BJ Habibie, Serpong, para periset dari ketiga negara membahas kemajuan kerja sama riset dalam forum Scientific Meeting pada 17 Februari 2025. Dalam pertemuan ini, sejumlah capaian signifikan dipaparkan, antara lain ditemukannya isolat mikroba baru, senyawa aktif anti-TB dan anti-dengue yang menjanjikan, serta peningkatan produksi senyawa aktif antimalaria hingga sepuluh kali lipat melalui proses mutasi dan seleksi.
Selain itu, evaluasi tahunan proyek SATREPS dilakukan dalam The 4th Joint Coordinating Committee Meeting yang diselenggarakan pada 18 Februari 2025 di Gedung BJ Habibie-BRIN, Jakarta. Acara ini digelar secara hybrid dan dihadiri oleh perwakilan dari masing-masing negara peserta.
Dalam proyek ini, Indonesia yang diwakili BRIN dan Malaysia yang diwakili University of Malaya mendapat dukungan teknis dari Pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Japan Agency for Medical Research and Development (AMED). Kolaborasi ini berjalan dalam kerangka proyek SATREPS yang berjudul The Trilateral Collaboration Project for Anti-infectious Disease Drug Development: From Lead Optimization to Preclinical Testing (ADD SATREPS Project).
Agus berharap kerja sama ini dapat terus diperkuat agar ekosistem riset pengembangan obat di Indonesia semakin maju dan mampu menghasilkan inovasi yang bermanfaat bagi masyarakat serta dunia kesehatan secara global.