KABARMALAYSIA.COM —Sejumlah insiden yang melibatkan tokoh masyarakat dengan pernyataan atau tindakan tidak sensitif terhadap komuniti minoriti kembali mencuatkan keprihatinan terhadap keharmonian kaum dan agama di Malaysia. Peristiwa-peristiwa ini menimbulkan pertanyaan kritikal tentang keadaan perpaduan negara serta langkah-langkah nyata yang harus diambil untuk mewujudkan inklusiviti yang sejati.
Meskipun tindakan hukum atau sanksi seperti penangguhan jabatan dapat berfungsi sebagai pencegah sementara, langkah-langkah tersebut belum menyentuh akar permasalahan. Solusi jangka panjang terletak pada pembangunan pemahaman antara budaya dan penghormatan lintas etnik dan agama.
“Daripada sekadar merespons dengan kemarahan, rakyat Malaysia harus bekerja menuju perubahan sistemik melalui pendidikan, reformasi kebijakan, dan keterlibatan masyarakat,” tulis Asma dalam kolomnya.
Dalam laporan oleh Institut Kajian Etnik (KITA) UKM tahun 2023, disebutkan bahwa 68% responden merasa adanya peningkatan retorik perkauman dalam politik dan media sosial sejak lima tahun terakhir. Hal ini menunjukkan urgensi untuk memperbaiki komunikasi lintas budaya di ruang publik.
Platform media sosial turut memainkan peran besar dalam membentuk diskursus publik. Di satu sisi, media sosial membuka ruang untuk kesadaran akan ketidakadilan sosial; namun di sisi lain, ia juga memperkuat polarisasi dan budaya kemarahan (outrage culture) yang sering kali memperbesar isu tanpa menggali akar masalahnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, ketegangan ras dan agama semakin meningkat, sering kali dipicu oleh retorika politik. Tokoh politik dan publik harus menyadari tanggung jawab mereka dalam membina masyarakat yang lebih harmonis.
“Pernyataan sembrono yang mengeksploitasi sentimen perkauman demi kepentingan politik hanya akan mengikis asas perpaduan,” tambah Asma.
Suruhanjaya Komunikasi dan Multimedia Malaysia (MCMC) menerima lebih dari 2,000 aduan terkait konten yang menyentuh sensitiviti kaum dan agama pada tahun 2024. Namun, hanya sekitar 12% yang ditindaklanjuti secara hukum.
Tokoh masyarakat, terutama yang bergerak di bidang media, memiliki pengaruh besar dalam membentuk wacana publik. Mereka harus mempertanggungjawabkan setiap pernyataan dan perlakuan yang mereka sampaikan kepada publik. Media juga harus menerapkan garis panduan ketat dalam representasi budaya guna mencegah penggambaran yang tidak sensitif.
Pemerintah perlu menegakkan undang-undang yang menghalang ujaran kebencian, serta merancang kebijakan inklusif. Kurikulum sekolah seharusnya mengintegrasikan pendidikan multikultural agar pelajar memahami warisan berbilang bangsa Malaysia dan pentingnya saling menghormati.
“Di tingkat masyarakat, dialog antara agama dan budaya harus digalakkan untuk mematahkan prasangka dan stereotip,” tulis Asma.
Inisiatif akar rumput seperti program pertukaran budaya dan acara kejiranan dapat menjadi ruang interaksi yang mempererat hubungan antara warga dengan latar belakang berbeda.
Untuk mewujudkan perpaduan jangka panjang, rakyat Malaysia harus mengamalkan enam nilai utama konsep Malaysia Madani: kelestarian, belas ihsan, hormat, inovasi, kemakmuran, dan kepercayaan.
- Kelestarian memastikan kohesi sosial jangka panjang.
- Belas ihsan dan hormat mendorong empati terhadap komuniti lain.
- Inovasi memberi ruang solusi kreatif untuk menjembatani perbezaan.
- Kemakmuran yang adil mencegah jurang ekonomi menjadi punca ketegangan.
- Kepercayaan terhadap institusi dan sesama warga menguatkan ikatan sosial.
Kementerian Perpaduan Negara pada tahun 2024 meluncurkan Rangka Tindakan Perpaduan Nasional (2021–2030), namun evaluasi dari IDEAS Malaysia menunjukkan bahwa pelaksanaannya masih kurang menyentuh tingkat masyarakat secara langsung.
Asma mengingatkan agar rakyat Malaysia bertanya pada diri sendiri: “Apakah kita sedang bergerak menuju masyarakat yang lebih inklusif atau semakin terpecah?” Pilihan untuk membina perpaduan dan penghormatan timbal balik tidak hanya terletak pada bagaimana kita menanggapi kontroversi, tetapi juga dalam membongkar struktur sosial yang memungkinkan isu-isu tersebut terjadi.
“Perubahan sejati memerlukan usaha berterusan dari semua lapisan masyarakat — dari pembuat dasar hingga interaksi harian individu,” tutup Asma.
Malaysia seharusnya menjadikan kemajmukannya sebagai kekuatan, bukan kelemahan. Hanya dengan dialog berterusan, pendidikan, dan kepimpinan yang bertanggungjawab — berteraskan nilai-nilai Madani — barulah negara ini dapat melangkah ke masa depan yang saling menghormati dan bersatu.