KABARMALAYSIA.COM — Dalam kurun waktu hampir dua dekade, limbah elektronik (e-waste) di Malaysia telah mencapai angka yang mencengangkan, yakni 2,62 juta metrik ton (mt) dari tahun 2005 hingga 2023. Jumlah ini setara dengan mengisi hampir tiga perempat dari tinggi Menara Kembar Petronas. Dengan tren yang terus meningkat, diperkirakan e-waste di Malaysia akan terus bertambah di tahun-tahun mendatang.
Departemen Lingkungan Hidup (DoE) memperkirakan bahwa sekitar 24,5 juta unit perangkat elektronik akan dibuang sepanjang tahun 2025.
Apa Itu E-Waste?
E-waste merujuk pada semua perangkat yang membutuhkan daya listrik atau baterai yang telah mencapai akhir masa pakainya. Ini mencakup perangkat kecil seperti alat bantu dengar, ponsel, dan komputer, hingga peralatan rumah tangga seperti kulkas dan mesin cuci. Selain itu, e-waste juga mencakup mesin industri, sepeda listrik, dan kendaraan bermotor. Seiring dengan meningkatnya ketergantungan masyarakat terhadap teknologi, e-waste telah menjadi salah satu jenis limbah yang tumbuh paling cepat di dunia, menuntut metode pembuangan yang tepat untuk mencegah dampak lingkungan dan kesehatan yang lebih luas.
Tren Pengelolaan E-Waste di Malaysia
Pengumpulan dan pengolahan e-waste di Malaysia dimulai pada tahun 2005 setelah diberlakukannya Peraturan Kualitas Lingkungan (Limbah Terjadwal) 2005. Data menunjukkan bahwa tahun 2020 mencatat jumlah e-waste tertinggi, mencapai 904.008,90 mt. Peningkatan signifikan ini dikaitkan dengan berbagai fase Perintah Kawalan Pergerakan (MCO) akibat pandemi COVID-19, yang mendorong peningkatan pembelian perangkat elektronik saat masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.
Pada tahun 2023, jumlah e-waste yang dikumpulkan mencapai 65.280,14 mt, dengan tingkat pemulihan sebesar 13.759,98 mt atau sekitar 21,1 persen dari total e-waste yang dihasilkan secara nasional. Meskipun angka ini tergolong rendah hingga sedang, Malaysia masih sedikit lebih baik dibandingkan rata-rata global yang hanya mencapai 17,4 persen, sebagaimana tercatat dalam laporan Global E-Waste Monitor 2020.
Proses Pengelolaan E-Waste di Malaysia
Manajemen e-waste di Malaysia dilakukan melalui metode pemulihan, penggunaan kembali, dan pembuangan akhir. Saat ini, terdapat 17 fasilitas yang memiliki lisensi penuh dari DoE untuk pemulihan e-waste secara menyeluruh, serta 106 fasilitas lainnya yang beroperasi dengan lisensi pemulihan parsial.
Pemulihan penuh mencakup proses pengolahan limbah elektronik dengan teknologi canggih yang memungkinkan pemisahan dan ekstraksi material berharga, seperti emas, perak, platinum, dan logam tanah jarang lainnya. Sementara itu, pemulihan parsial hanya mencakup proses pembongkaran dan pemilahan dasar, yang biasanya terbatas pada bahan-bahan umum seperti plastik, aluminium, dan tembaga.
Perbedaan skala teknologi dan investasi menjadi alasan utama mengapa fasilitas pemulihan parsial lebih banyak ditemukan di Malaysia dibandingkan dengan fasilitas pemulihan penuh. Namun, keterbatasan dalam pengolahan bahan berbahaya dan pemulihan logam berharga membuat beberapa bagian e-waste harus dikirim ke fasilitas pemulihan penuh untuk diproses lebih lanjut.
Volume E-Waste di Berbagai Negara Bagian
Pada tahun 2023, jumlah e-waste yang dihasilkan di seluruh Malaysia mencapai 65.280,14 mt, menurun drastis dibandingkan dengan tahun 2022 yang mencapai 286.205,84 mt. Negara bagian dengan produksi e-waste tertinggi adalah Melaka (26.089,68 mt), diikuti oleh Penang (13.004,61 mt), Selangor (6.890,02 mt), dan Negeri Sembilan (6.833,05 mt).
“Berdasarkan tren dari tahun 2015 hingga 2023, produksi e-waste tetap konsisten di Melaka, diikuti oleh Johor, Penang, dan Negeri Sembilan,” ujar Kementerian Sumber Daya Alam dan Keberlanjutan Lingkungan dalam pernyataannya kepada Malay Mail.
Bagaimana Malaysia Dibandingkan dengan Negara Lain?
Di tingkat global, Malaysia memiliki tingkat pemulihan e-waste sebesar 21,1 persen. Sebagai perbandingan, Singapura menghasilkan sekitar 60.000 mt e-waste setiap tahunnya, namun hanya sekitar 6 persen dari limbah tersebut yang didaur ulang oleh rumah tangga.
Indonesia menjadi penghasil e-waste terbesar di Asia Tenggara pada tahun 2022 dengan produksi mencapai 1,886 juta kg, menempatkannya sebagai negara keempat terbesar di Asia setelah Tiongkok, India, dan Jepang.
Di Eropa, produksi e-waste mencapai 17,6 kg per kapita, dengan tingkat daur ulang tertinggi, yakni 42,8 persen dari total limbah yang dihasilkan. Sebaliknya, negara-negara di Afrika memiliki tingkat daur ulang terendah, di bawah 1 persen.
India, pada tahun 2022, menghasilkan sekitar 1,6 juta mt e-waste, dengan tingkat daur ulang mencapai 33 persen. Tiongkok, sebagai penghasil e-waste terbesar dunia, mencatat produksi lebih dari 12 juta mt pada tahun 2022, diikuti oleh Amerika Serikat dengan sekitar 7 juta mt. Pemerintah Tiongkok menargetkan tingkat daur ulang e-waste mencapai 50 persen pada tahun 2025.
Tantangan Global dan Dampak Ekonomi E-Waste
Laporan Global E-Waste Monitor 2024 mengungkapkan bahwa pada tahun 2022, dunia menghasilkan rekor 62 miliar kg e-waste, dengan rata-rata 7,8 kg per kapita. Namun, hanya 22,3 persen dari total e-waste yang berhasil dikumpulkan dan didaur ulang secara aman.
Tingkat implementasi kebijakan dan regulasi e-waste juga mengalami perlambatan. Per Juni 2023, hanya 81 negara (42 persen) yang memiliki kebijakan atau regulasi terkait, jauh di bawah target ITU sebesar 50 persen (97 negara) pada tahun 2023.
Secara ekonomi, manajemen e-waste yang tidak efisien menyebabkan kerugian sekitar USD 37 miliar (RM 165 miliar) pada tahun 2022. Biaya eksternal dari pengelolaan e-waste yang buruk, termasuk emisi timbal dan merkuri, kebocoran plastik, serta dampak terhadap pemanasan global, mencapai USD 78 miliar.
Diproyeksikan bahwa jumlah e-waste global akan mencapai 82 miliar kg pada tahun 2030. Jika tidak ada perubahan signifikan dalam sistem pengumpulan dan daur ulang, tingkat pemulihan resmi akan turun menjadi 20 persen, jauh dari target 30 persen yang ditetapkan ITU untuk 2023.
Dengan tantangan yang semakin kompleks, diperlukan langkah konkret dalam kebijakan pengelolaan e-waste, baik di Malaysia maupun di tingkat global, untuk mengurangi dampak lingkungan dan meningkatkan efisiensi ekonomi dari pemulihan material berharga dalam limbah elektronik.