KABARMALAYSIA.COM — Belakangan ini, sejumlah insiden telah memicu ketegangan antarumat beragama. Kejadian-kejadian tersebut melibatkan tindakan menghina dan merendahkan kepercayaan serta praktik keagamaan pihak lain, yang akhirnya menciptakan ketidakharmonisan dalam masyarakat.
Sebagai seorang dokter berusia 69 tahun yang telah aktif dalam kegiatan keislaman dan antaragama selama lebih dari 35 tahun, saya ingin berbagi beberapa pengamatan dan memberikan nasihat mengenai persoalan ini.
Sebagai seorang Muslim, pandangan saya terutama didasarkan pada ajaran Islam. Namun, saya percaya bahwa beberapa poin yang saya sampaikan dapat diterima dan diterapkan oleh umat beragama lainnya, karena pada dasarnya banyak ajaran agama yang memiliki kesamaan dalam menekankan kebaikan dan kedermawanan.
Perbedaan utama antaragama, termasuk atheisme, terletak pada teologi. Kita memiliki pandangan berbeda mengenai keberadaan Tuhan—apakah Tuhan itu ada atau tidak? Jika ada, apakah hanya satu atau lebih dari satu? Konsep Tuhan pun beragam, mulai dari keesaan mutlak hingga konsep trinitas atau bentuk ketuhanan lainnya. Bahkan di antara mereka yang meyakini keesaan Tuhan, sering terjadi perdebatan mengenai sifat dan atribut-Nya.
Sejarah mencatat bahwa jutaan manusia telah terbunuh atas nama Tuhan. Banyak agama, termasuk Islam dan Kristen, menganjurkan pengikutnya untuk menyebarkan ajaran mereka dan mengajak orang lain untuk memeluk agama mereka. Namun, dalam proses ini, sering terjadi tindakan yang menyakiti perasaan umat beragama lain. Para pendakwah berusaha membuktikan bahwa agama mereka adalah yang paling benar, bahkan dengan cara merendahkan atau mendiskreditkan keyakinan lain.
Oleh karena itu, tantangan terbesar adalah bagaimana melakukan dakwah dan dialog keagamaan dengan cara yang tetap menghormati keyakinan pihak lain.
Dalam Islam, ada pedoman jelas dalam berdakwah, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, serta berdialoglah dengan mereka dengan cara yang paling baik.” (QS. An-Nahl: 125)
Jika setiap pendakwah mengikuti prinsip ini—berdakwah dengan bijaksana, penuh hormat, dan tanpa merendahkan—maka konflik dapat dihindari. Dialog dan debat keagamaan harus dilakukan secara sopan dan menghargai lawan bicara sebagai sesama manusia.
Mereka yang ingin berdiskusi atau memberikan komentar tentang agama lain, termasuk di media sosial, sebaiknya memahami etika dalam interaksi antaragama. Tidak boleh ada penghinaan, pelecehan, atau sikap meremehkan. Sebaliknya, perbedaan harus disikapi dengan diskusi yang sehat dan saling menghargai.
Jika dalam dialog keagamaan terjadi ketidaksepakatan yang berpotensi memicu konflik, lebih baik mengakhirinya dengan tetap menjaga hubungan baik, daripada berlarut-larut hingga menimbulkan permusuhan.
Islam dengan tegas melarang pemaksaan dalam beragama, sebagaimana firman Allah:
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama. Sungguh, telah jelas perbedaan antara yang benar dan yang sesat.” (QS. Al-Baqarah: 256)
Dengan demikian, Islam mengajarkan bahwa keimanan harus tumbuh secara sukarela dan berdasarkan pemahaman yang benar. Seseorang tidak boleh dipaksa, diancam, atau dibujuk dengan imbalan materi untuk masuk Islam.
Dalam sejarah, ada kasus di mana sejumlah orang menerima Islam berulang kali hanya demi memperoleh hadiah atau fasilitas tertentu. Misalnya, beberapa orang di Sabah pernah masuk Islam karena diberikan hadiah mewah, bahkan mendapat kesempatan berhaji. Namun, setelah bantuan tersebut berakhir, mereka kembali ke agama sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa konversi yang dilakukan bukan karena keyakinan, melainkan karena insentif duniawi.
Meskipun memberi hadiah bukanlah paksaan langsung, jika seseorang masuk Islam hanya demi keuntungan materi, maka keislamannya menjadi tidak tulus. Oleh sebab itu, keislaman yang sejati hanya terjadi ketika seseorang menemukan kebenaran Islam dan menerima ajarannya dengan hati yang ikhlas.
Seorang Muslim seharusnya menyampaikan dakwah dengan cara yang baik dan santun. Islam menekankan pentingnya menunjukkan akhlak yang mulia dalam interaksi sosial. Banyak orang tertarik kepada Islam bukan karena ceramah atau perdebatan teologis, tetapi karena mereka terkesan oleh karakter baik dan sikap adil kaum Muslimin.
Hal ini juga berlaku bagi agama lain konversi yang sejati hanya terjadi ketika seseorang memiliki pemahaman mendalam dan keyakinan yang tulus terhadap ajaran baru yang dianutnya.
Dalam upaya menyebarkan agama, tidak perlu merendahkan atau menghina kepercayaan orang lain. Sebaliknya, tunjukkan kebenaran agama melalui akhlak yang baik, sikap hormat, serta kontribusi positif bagi masyarakat. Kebenaran akan tampak jelas tanpa perlu menjelekkan pihak lain.
Lebih dari itu, menjaga keharmonisan dan saling menghormati di tengah masyarakat yang beragam adalah tanggung jawab bersama. Dengan sikap saling menghargai, kita bisa hidup berdampingan dalam damai, tanpa harus mengorbankan keyakinan masing-masing.