KABARMALAYSIA.COM — Pemerintah Malaysia berkomitmen untuk menindak tegas praktik penipuan dalam industri minyak goreng bekas (Used Cooking Oil/UCO) guna menjaga kredibilitasnya sebagai eksportir yang bertanggung jawab. Wakil Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia, Datuk Chan Foong Hin, mengungkapkan bahwa Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOB) saat ini tengah meninjau standar dan kebijakan terkait UCO serta limbah industri kelapa sawit yang dikenal sebagai minyak sawit lumpur (Sludge Palm Oil/SPO).
Menurut Chan, peninjauan ini bertujuan untuk memastikan bahwa kedua jenis minyak ini dapat dibedakan dengan jelas agar tidak terjadi kecurangan dalam ekspor. “Pemerintah juga memperkuat mekanisme penegakan hukum untuk menjaga kredibilitas industri dan reputasi Malaysia sebagai eksportir yang bertanggung jawab,” ujarnya dalam wawancara pada Kamis (13/2).
Salah satu langkah utama yang akan diambil pemerintah adalah memastikan keterlacakan seluruh rantai pasokan. Hal ini bertujuan untuk menanggulangi praktik penipuan yang merugikan industri dan dapat mempengaruhi status Malaysia sebagai eksportir UCO yang kredibel.
“Pada dasarnya, inti dari masalah ini adalah keterlacakan. Bagaimana kita bisa memastikan seluruh rantai pasokan dapat ditelusuri dengan baik?” kata Chan.
Tindakan tegas ini diambil setelah industri biodiesel Eropa mengeluhkan lonjakan impor dari China yang diduga mengandung minyak dan lemak daur ulang, tetapi sebenarnya diproduksi dengan minyak murni yang lebih murah dan kurang berkelanjutan. Hal ini memicu kekhawatiran bahwa minyak goreng bekas yang diekspor dari berbagai negara, termasuk Malaysia, bisa saja telah dicampur dengan minyak yang tidak sesuai standar.
Negara tetangga, Indonesia, yang merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, bulan lalu juga mengambil langkah serupa dengan membatasi ekspor UCO dan residu minyak kelapa sawit. Pemerintah Indonesia mencurigai bahwa pengiriman minyak tersebut dalam beberapa tahun terakhir telah melebihi kapasitas produksi, yang mengindikasikan adanya pencampuran dengan minyak kelapa sawit mentah (CPO).
Di sisi lain, pada Agustus 2024, Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA) mengumumkan penyelidikan terhadap rantai pasokan beberapa produsen bahan bakar terbarukan. Langkah ini diambil setelah muncul kekhawatiran bahwa beberapa perusahaan mungkin menggunakan bahan baku biodiesel palsu untuk mendapatkan subsidi pemerintah yang menguntungkan.
Terkait regulasi deforestasi yang akan diberlakukan oleh Uni Eropa, Chan menegaskan bahwa industri kelapa sawit Malaysia tidak perlu khawatir. Menurutnya, Malaysia telah berkomitmen terhadap prinsip anti-deforestasi dan telah mengambil langkah konkret untuk mematuhi standar internasional.
“Saat ini, sekitar 87 persen perkebunan kelapa sawit Malaysia telah mendapatkan sertifikasi keberlanjutan melalui standar Minyak Sawit Berkelanjutan Malaysia (MSPO),” jelasnya.
Pada Desember 2024, Uni Eropa menyetujui penundaan satu tahun terhadap undang-undang baru yang mewajibkan importir komoditas seperti kedelai, daging sapi, kakao, kopi, minyak sawit, kayu, dan karet untuk membuktikan bahwa rantai pasokan mereka tidak berkontribusi terhadap deforestasi. Jika tidak, mereka akan menghadapi sanksi berat.
Chan juga menanggapi penurunan ekspor minyak sawit Malaysia ke India yang pada Januari 2025 mencapai titik terendah dalam 14 tahun terakhir. Menurutnya, situasi ini bersifat sementara mengingat India memiliki populasi yang sangat besar dan tetap menjadi pasar utama bagi minyak sawit Malaysia.
“Faktor permanennya adalah jumlah penduduk. Jadi ya, kami masih optimis terhadap pasar India,” pungkasnya.
Pada tahun 2024, India mengimpor sekitar 3,03 juta metrik ton minyak sawit dari Malaysia, meningkat 6,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan masih tetap kuat, meskipun ada tantangan dalam jangka pendek.
Dengan berbagai langkah yang sedang ditempuh, pemerintah Malaysia berharap dapat memastikan bahwa industri minyak goreng bekas dan minyak sawit tetap memiliki kredibilitas tinggi di pasar global.