KABARMALAYSIA.COM — Di Sabah, sekitar 300.000 anak-anak marjinal hidup tanpa akses ke pendidikan formal, sebuah kondisi yang mendorong mereka ke jalanan dan menghadapkan mereka pada berbagai risiko sosial seperti kriminalitas dan eksploitasi.
Untuk mengatasi permasalahan ini, berbagai Pusat Pembelajaran Alternatif (Alternative Learning Centres/ALCs) hadir untuk memberikan pendidikan bagi anak-anak yang tidak dapat mengakses sekolah negeri. Namun, keberadaan ALCs menghadapi tantangan besar, baik dari segi legalitas maupun pendanaan, karena sebagian besar tidak mendapatkan pengakuan resmi dari Kementerian Pendidikan Malaysia.
Marilou Salgatar Chin, seorang pengusaha yang mengelola agen tenaga kerja di Kota Kinabalu, melihat anak-anak tanpa akses pendidikan ini setiap hari. Mereka hidup tanpa struktur dan akhirnya terjerumus ke dalam gaya hidup yang merugikan.
“Saya melihat mereka setiap hari. Tanpa arahan yang jelas dalam hidup, mereka cenderung mencari pelarian yang tidak sehat dan, pada akhirnya, terlibat dalam kriminalitas atau prostitusi. Ini bukan kehidupan yang saya inginkan untuk mereka,” ujar Chin dalam wawancara dengan Malay Mail.
Pada tahun 2012, Chin mendirikan Stairway to Hope, sebuah sekolah bagi anak-anak kurang mampu yang kini mendidik antara 250 hingga 500 siswa setiap tahun. Namun, upayanya tidak mudah. Sekolah yang awalnya berbasis di Kampung Kalasanan, Inanam, ini berkali-kali menghadapi ancaman penutupan.
“Kami beberapa kali diancam akan ditutup. Saya bertanya, ‘Apakah mengajarkan mereka adalah sebuah kejahatan?’” ungkapnya.
Akhirnya, Kementerian Pendidikan Malaysia memberikan izin operasi kepada Stairway to Hope, tetapi hanya sebagai “pusat bimbingan belajar” dan bukan sebagai sekolah resmi.
Stairway to Hope hanyalah salah satu dari ratusan ALCs yang ada di Sabah. Sebuah studi UNICEF tahun 2016-2017 mengidentifikasi sekitar 170 ALCs di Sabah, tetapi perkiraan terbaru menyebutkan jumlahnya bisa mencapai lebih dari 400.
Pusat-pusat pembelajaran ini bervariasi dari kelas kecil berbasis komunitas hingga sekolah yang disponsori oleh pemerintah Indonesia. Namun, kesamaan mereka adalah tidak mengikuti kurikulum pendidikan Malaysia dan lebih banyak melayani anak-anak non-warga negara.
Perubahan dalam Undang-Undang Pendidikan tahun 2002 memperketat aturan pendaftaran sekolah negeri bagi anak-anak yang tidak memiliki dokumen resmi. Akibatnya, banyak anak-anak tanpa kewarganegaraan kehilangan hak mereka untuk bersekolah. Meski pemerintah Malaysia melonggarkan aturan pada 2019 untuk anak-anak yang memiliki salah satu orang tua berkewarganegaraan Malaysia, mereka yang lahir dari orang tua asing tetap tidak diperbolehkan bersekolah di institusi negeri.
Menurut Anne Baltazar, pendiri Advocates for Non-discrimination and Access to Knowledge (ANAK), kebijakan ini membuat banyak anak-anak putus sekolah.
“Keluarga mereka tidak mampu membeli buku, seragam, atau membayar biaya transportasi. Selain itu, anak-anak ini sering merasa terasing dan akhirnya memilih berhenti sekolah,” kata Kathryn Rivai, pendiri Etania Schools.
Meskipun ada inisiatif swasta seperti Etania Schools dan Humana Child Aid Borneo, ribuan anak di Sabah masih belum memiliki akses ke pendidikan.
ALCs memainkan peran penting dalam memberikan pendidikan dasar bagi anak-anak non-warga negara, tetapi mereka beroperasi tanpa dukungan dari Kementerian Pendidikan Malaysia dan tidak memiliki akreditasi resmi.
“Tanpa akreditasi dari Kementerian Pendidikan, pusat-pusat ini rentan ditutup karena mereka tidak bisa memenuhi persyaratan administratif yang ketat akibat keterbatasan sumber daya,” kata Baltazar.
Contohnya, pada 2019, Hope Learning Centre di Penampang terpaksa ditutup setelah lebih dari satu dekade beroperasi, meninggalkan 500 anak tanpa pendidikan karena masalah pendaftaran dan izin operasional. Hal serupa juga terjadi di beberapa ALCs di Keningau dan Semporna, termasuk Iskul Sama DiLaut Omadal, yang sempat ditutup karena keluhan dari pemilik bisnis setempat.
Selain itu, banyak siswa ALCs yang tidak memiliki dokumen resmi, sehingga rentan terhadap razia imigrasi dan deportasi. Dengan sumber daya yang terbatas, sekolah-sekolah ini kesulitan memberikan lebih dari sekadar pendidikan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung. Tanpa akreditasi, masa depan akademik anak-anak ini tetap tidak pasti.
Baltazar menyerukan pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan pendidikan bagi anak-anak marjinal dan tanpa kewarganegaraan agar mereka tidak tertinggal.
“Jika pemerintah tidak bersedia memberikan akses pendidikan formal, setidaknya harus ada proses registrasi yang lebih mudah dan fleksibel bagi ALCs yang melayani anak-anak yang rentan,” ujarnya.
Azlina Kamal, pakar pendidikan UNICEF Malaysia, juga menekankan bahwa status migrasi anak seharusnya tidak menjadi penghalang untuk mendapatkan hak pendidikan.
“Hak anak untuk mendapatkan pendidikan tidak bisa ditawar. Semua anak, tanpa memandang status kewarganegaraan, harus dapat mengikuti kurikulum pendidikan formal yang diakui hingga jenjang menengah,” kata Azlina.
Ia mengajak semua pihak untuk bersama-sama mendorong reformasi kebijakan guna memastikan pendidikan yang berkualitas bagi semua anak.
Chin juga mengingatkan bahwa jika anak-anak ini terus diabaikan, dampaknya akan berkepanjangan bagi masyarakat.
“Jika mereka tidak mendapatkan pendidikan, mereka tidak akan memiliki keterampilan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Pada akhirnya, ini bukan hanya masalah mereka, tetapi masalah kita semua,” pungkasnya.