KABARMALAYSIA.COM — Baterai lithium-ion yang menjadi sumber tenaga kendaraan listrik (EV) dan mobil hybrid memiliki masa pakai antara delapan hingga sepuluh tahun. Namun, apa yang terjadi setelah masa pakainya habis?
Pertanyaan ini menjadi semakin mendesak seiring dengan meningkatnya adopsi kendaraan listrik di Malaysia. Perusahaan otomotif besar seperti Tesla dan BYD telah mendirikan operasi lokal, sementara produsen dalam negeri seperti Proton juga mulai merambah pasar EV.
Dengan target 10.000 stasiun pengisian daya pada tahun 2025, Malaysia menghadapi tantangan besar dalam siklus hidup baterai lithium-ion. Diperkirakan pada tahun 2050, negara ini harus mengelola sekitar 870.000 baterai yang telah habis masa pakainya. Oleh karena itu, diperlukan sistem yang kokoh untuk pengumpulan, pengolahan, dan pemulihan material dari baterai tersebut.
Menurut Kepala Eksekutif Malaysia Automotive, Robotics and IoT Institute (MARii), Azrul Reza Aziz, meskipun sektor ini masih dalam tahap awal, proyeksi internal MARii menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah baterai EV yang perlu didaur ulang di tahun-tahun mendatang.
“Berdasarkan siklus hidup baterai delapan tahun dan data registrasi EV sejak 2020, diperkirakan sekitar 40.000 baterai EV akan membutuhkan daur ulang pada tahun 2030, angka ini meningkat menjadi 330.000 pada 2040, dan mencapai 870.000 pada 2050,” ujarnya.
Regulasi Pengelolaan Baterai EV di Malaysia
Saat ini, Malaysia telah memiliki kerangka regulasi yang komprehensif untuk pembuangan baterai hybrid dan EV secara aman. Departemen Lingkungan Hidup (DoE) mengawasi pengelolaannya melalui tiga mekanisme utama:
- Fasilitas Pengolahan Otomotif Berizin (AATF) – bertugas membongkar kendaraan listrik yang sudah tidak layak pakai dan mengelola baterainya.
- Pusat daur ulang berlisensi (EIA Licensed) – melakukan pra-perlakuan dan pengolahan baterai sesuai dengan Undang-Undang Kualitas Lingkungan 1974.
- Protokol Limbah Terjadwal SW103 – mengawasi penanganan, penyimpanan, transportasi, dan pembuangan material baterai berbahaya.
Dalam skema Extended Producer Responsibility (EPR), produsen kendaraan listrik diwajibkan mengarahkan kendaraan yang sudah tidak layak pakai ke AATF, di mana baterai akan dikumpulkan dan dikirim ke pusat daur ulang berlisensi. Di sana, baterai akan diolah menjadi bubuk hitam yang dapat diekstraksi lebih lanjut dengan metode hidrometalurgi untuk digunakan dalam berbagai industri.
Untuk meningkatkan transparansi dan jejak keberlanjutan, MARii juga tengah mengembangkan Inisiatif Paspor Baterai—sistem pencatatan digital yang melacak informasi utama baterai, termasuk komposisi, asal, data siklus hidup, dan potensi daur ulangnya. Pendekatan ini bertujuan menciptakan sistem daur ulang tertutup (cradle-to-cradle), guna memperkuat komitmen Malaysia terhadap keberlanjutan lingkungan dan transisi menuju mobilitas hijau.
Saat ini, hanya terdapat dua fasilitas AATF berlisensi DoE di Malaysia, yakni Car Medic Sdn Bhd dan Jaring Metal Industries Sdn Bhd. Selain itu, terdapat empat fasilitas daur ulang limbah terjadwal yang berizin, yaitu:
- Hi Tech Full Recovery (M) Sdn Bhd
- Mep Enviro Technology Sdn Bhd
- Sungeel Hitech Sdn Bhd
- Tes-Amm (M) Sdn Bhd
MARii terus mendorong pendirian lebih banyak AATF berlisensi untuk menangani komponen kendaraan listrik yang telah mencapai akhir masa pakainya. Fasilitas ini harus mematuhi standar lingkungan yang ketat, termasuk sertifikasi MS 2697, serta beroperasi berdasarkan prinsip 4R—Reuse (penggunaan kembali), Repair (perbaikan), Recycle (daur ulang), dan Remanufacture (remanufaktur).
Pemerintah Malaysia juga telah memperkenalkan insentif bagi sektor swasta untuk berinvestasi dalam fasilitas daur ulang baterai, melalui skema:
- Green Income Tax Exemption (GITE) – memberikan pembebasan pajak penghasilan hingga 70% bagi perusahaan yang menawarkan layanan ramah lingkungan seperti pengisian daya EV, perbaikan infrastruktur EV, dan pemeliharaan EV.
- Green Investment Tax Allowance (GITA) – memberikan insentif 100% pada belanja modal proyek teknologi hijau, yang dapat dikompensasikan hingga 70% terhadap penghasilan kena pajak.
Untuk mencegah dampak lingkungan akibat proses daur ulang baterai, Malaysia menerapkan mekanisme harga karbon serta kebijakan pengelolaan limbah yang ketat.
Kementerian Perdagangan Internasional dan Industri (MITI) menangani tantangan ini melalui dua kebijakan utama:
- Kebijakan Otomotif Nasional 2020 (NAP 2020) – menargetkan tingkat daur ulang kendaraan mencapai 70% dengan kepatuhan terhadap standar MS ISO:22628, serta mendorong pendirian 21 fasilitas AATF berlisensi pada 2030.
- Kebijakan Remanufaktur Nasional (NRP) – mendukung ekonomi sirkular berkelanjutan dalam lima sektor strategis: otomotif, maritim, permesinan, elektronik, dan dirgantara. Kebijakan ini bertujuan meningkatkan kapasitas remanufaktur domestik dan memperkuat daya saing ekspor Malaysia.
Dengan langkah-langkah ini, Malaysia berupaya menciptakan ekosistem yang tangguh dalam menangani baterai EV yang telah habis masa pakainya, serta memastikan transisi menuju mobilitas hijau yang lebih berkelanjutan.