KABARMALAYSIA.COM — Dewan Rakyat Malaysia telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Layanan Parlemen 2025 yang diklaim sebagai “ibu dari segala reformasi” oleh Menteri di Departemen Perdana Menteri (Hukum dan Reformasi Institusi), Datuk Seri Azalina Othman Said. RUU ini bertujuan untuk meningkatkan status Parlemen dengan memisahkannya dari kendali eksekutif yang selama ini berada di bawah pengawasan Departemen Perdana Menteri.
RUU ini dirancang untuk memberikan otonomi administratif penuh kepada lembaga legislatif dengan melepaskannya dari kendali eksekutif dalam aspek operasional, sumber daya manusia, dan keuangan. Dengan adanya undang-undang ini, pengelolaan Parlemen akan dialihkan ke badan pengelola yang bertanggung jawab langsung kepada Parlemen, bukan lagi kepada Departemen Perdana Menteri. Selain itu, tenaga kerja Parlemen akan dipisahkan dari layanan publik.
Dengan wewenang yang lebih luas, badan pengelola Parlemen dapat menetapkan kebijakannya sendiri, termasuk menentukan jumlah dan kualifikasi pegawai yang diperlukan. Jika diperlukan, Parlemen dapat merekrut tenaga ahli dari sektor swasta, tidak lagi terbatas pada pegawai negeri sipil seperti sebelumnya. Selain itu, badan pengelola ini juga diberikan kewenangan untuk mengatur masalah keuangan yang berkaitan dengan operasional Parlemen.
Namun, RUU ini tidak serta-merta memberikan kewenangan bagi Parlemen untuk menetapkan anggarannya sendiri. Seperti yang dijelaskan oleh Maha Balakrishnan, seorang pakar advokasi kebijakan parlemen, jumlah anggaran yang diterima Parlemen tetap bergantung pada keputusan Kementerian Keuangan. Meskipun demikian, Azalina menegaskan bahwa RUU ini mewajibkan Kementerian Keuangan untuk memberikan alokasi tahunan yang “cukup” untuk Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam RUU ini, badan pengambil keputusan utama adalah Komisi Layanan Parlemen. Komisi ini terdiri dari:
- Presiden Senat (Ketua)
- Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (Wakil Ketua)
- Wakil Presiden Senat
- Dua Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat
- Dua senator
- Empat Anggota Parlemen (termasuk dua dari pihak oposisi)
- Panitera Senat
- Panitera Dewan Perwakilan Rakyat
- Sekretaris Jenderal Perbendaharaan atau wakilnya (anggota ex-officio)
- Direktur Jenderal Layanan Publik atau wakilnya (anggota ex-officio)
- Kepala Administrator Parlemen (anggota ex-officio)
Komisi ini memiliki wewenang utama dalam menetapkan syarat dan ketentuan pengangkatan pegawai di lingkungan Layanan Parlemen, serta mengawasi seluruh aspek keuangan yang terkait dengan operasional parlemen. Namun, RUU ini tidak menjelaskan secara spesifik bagaimana mekanisme pengangkatan anggota komisi, yang menimbulkan kekhawatiran mengenai independensi dan transparansi prosesnya.
Maha Balakrishnan menyarankan agar mekanisme pengangkatan anggota komisi dilakukan oleh Parlemen melalui prosedur yang telah disepakati, seperti dalam pemilihan anggota komite parlemen lainnya. Ini termasuk melibatkan partisipasi dari semua partai besar, termasuk oposisi, guna menjamin keseimbangan dan transparansi dalam pengelolaan Parlemen.
RUU Layanan Parlemen 2025 mencerminkan undang-undang serupa yang diterapkan di negara-negara seperti Inggris. Undang-undang ini memberikan kerangka hukum yang memungkinkan Parlemen berfungsi secara efektif tanpa campur tangan dari eksekutif. Tujuan utama dari reformasi ini adalah memperkuat mekanisme checks and balances, memungkinkan Parlemen menjalankan tugasnya tanpa tekanan politik dari pemerintah.
RUU ini juga menandai upaya pemulihan terhadap Undang-Undang Layanan Parlemen yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1963 di bawah pemerintahan Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman. Namun, undang-undang ini dicabut pada tahun 1992 selama pemerintahan Tun Dr. Mahathir Mohamad. Sejak saat itu, kendali administratif Parlemen berada di tangan lembaga eksekutif, menyebabkan ketidakseimbangan dalam sistem pemerintahan.
Pada tahun 2005, mayoritas anggota parlemen menyerukan agar undang-undang ini dihidupkan kembali. Isu pemisahan kekuasaan menjadi