KABARMALAYSIA.COM – Pada penghujung tahun 2024, tepatnya di bulan Desember, penulis berkesempatan mengunjungi Malaysia dalam rangka liburan sekaligus mengenang masa-masa studi di Universiti Kebangsaan Malaysia, Selangor. Kunjungan ini membawa kembali ingatan akan pengalaman belajar di Malaysia dari tahun 1996 hingga 2000. Saat itu, banyak pelajar Indonesia menimba ilmu di Malaysia, seperti halnya pelajar Malaysia yang menuntut ilmu di Indonesia. Hubungan erat kedua negara ini telah membuka banyak peluang kolaborasi di berbagai bidang, termasuk pendidikan. Namun, tidak dapat dipungkiri, banyak perubahan signifikan telah terjadi dibandingkan masa lalu.
Perjalanan dimulai dari Pekanbaru, Riau, menggunakan mobil melalui Tol Pekanbaru-Dumai. Infrastruktur ini telah memangkas waktu tempuh dari 6-7 jam menjadi hanya sekitar 2 jam. Setelah tiba di Kota Dumai, perjalanan dilanjutkan dengan ferry menuju Port Dickson, Negeri Sembilan. Kota ini menunjukkan transformasi besar sejak awal tahun 2000, terutama dalam pelayanan publik yang kini lebih efisien dan nyaman.
Dari Port Dickson, penulis melanjutkan perjalanan ke Seremban, khususnya ke Stasiun Seremban, sebelum menggunakan Kereta Komuter Tanah Melayu (KTM) menuju Stasiun Kuala Lumpur Sentral. Sistem transportasi modern ini mencerminkan kemajuan Malaysia dalam menyediakan layanan yang ramah pengguna, efisien, dan terintegrasi.
Bagi pengunjung pertama kali, Malaysia memiliki banyak keunikan. Negara ini terbagi menjadi dua wilayah utama: Semenanjung Malaysia (Malaysia Barat) dan Malaysia Timur (Borneo Utara, yaitu Sabah dan Sarawak). Pembagian ini tidak hanya didasarkan pada faktor geografis, tetapi juga pada sejarah dan proses unifikasi. Misalnya, Sabah dan Sarawak memiliki otonomi khusus dalam berbagai aspek, termasuk kebijakan imigrasi.
Dua peristiwa sejarah penting membentuk Malaysia modern. Pertama adalah kemerdekaan Tanah Melayu pada 31 Agustus 1957, dan kedua adalah integrasi Sabah dan Sarawak ke dalam Federasi Malaysia pada 16 September 1963. Dengan bergabungnya Sabah dan Sarawak, nama Tanah Melayu berubah menjadi Federasi Malaysia. Proses integrasi ini membutuhkan waktu enam tahun, mencerminkan kompleksitas sejarah dan politik di wilayah tersebut.
Integrasi Sabah dan Sarawak ke dalam Federasi Malaysia memiliki akar sejarah yang panjang. Pada abad ke-19, Lord Brassey, seorang tokoh kolonial Inggris, merencanakan penyatuan negeri-negeri di Borneo (Sabah dan Sarawak), negeri-negeri Melayu, serta wilayah seperti Malaka, Pulau Penang, dan Temasek (Singapura). Rencana ini akhirnya terwujud pada tahun 1963, membentuk Malaysia sebagai negara yang kita kenal saat ini.
Hubungan Indonesia dan Malaysia terus berkembang, meskipun mengalami pasang surut. Kunjungan Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Anwar Ibrahim, dalam pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, menjadi momen penting yang memperkuat hubungan bilateral. Kehadiran Anwar Ibrahim menunjukkan komitmen kedua negara untuk terus mempererat kerja sama.
Kerja sama ini mencakup berbagai bidang seperti ekonomi, politik, dan pertahanan-keamanan. Isu-isu perbatasan dan sengketa pulau yang kerap menjadi sumber ketegangan juga diharapkan dapat dikelola dengan lebih baik melalui dialog konstruktif. Selain itu, stabilitas di kawasan ASEAN menjadi fokus utama kedua negara. Malaysia, yang akan menjadi ketua ASEAN pada tahun 2025, memiliki peluang untuk mendorong kerja sama regional yang lebih erat, melibatkan Indonesia sebagai mitra strategis.
Sejak era Perdana Menteri Malaysia pertama, Tunku Abdul Rahman, dan Presiden Indonesia pertama, Soekarno, hubungan kedua negara telah dibangun di atas dasar sejarah dan budaya yang sama, yaitu melayu. Budaya melayu ini tidak hanya menjadi perekat hubungan, tetapi juga memberikan fondasi kuat untuk kerja sama yang saling menguntungkan. Meski sempat terjadi gesekan, seperti konfrontasi pada 1960-an, kedua negara berhasil menjalin hubungan yang semakin matang seiring waktu.
Dalam konteks modern, Indonesia dan Malaysia menghadapi tantangan yang sama, seperti globalisasi, perubahan iklim, dan dinamika geopolitik. Namun, tantangan ini juga membuka peluang besar untuk kerja sama. Dengan potensi sumber daya manusia dan alam yang melimpah, kedua negara dapat saling mendukung dalam membangun masa depan yang lebih baik untuk kawasan dan dunia.
Sebagai penutup, hubungan Indonesia-Malaysia yang semakin erat tidak hanya mencerminkan kedekatan geografis, tetapi juga kesamaan nilai dan visi bersama. Dengan momentum seperti kunjungan Anwar Ibrahim dan kepemimpinan Malaysia di ASEAN, kerja sama ini diharapkan terus berkembang, membawa manfaat besar bagi kedua negara dan kawasan Asia Tenggara secara keseluruhan.