Dalam konferensi pers pada 6 Januari 2025, Kombes Polisi Erdi Chaniago, Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Polri, menyampaikan bahwa kedua anggota kepolisian tersebut, yang merupakan bagian dari Banit 3 Subdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya, dijatuhi hukuman demosi dengan mutasi jabatan yang menempatkan mereka di luar penegakan hukum.
“Ini adalah bagian dari sanksi administratif, yang berlaku selama lima tahun. Mereka tidak lagi berperan dalam penegakan hukum,” kata Kombes Erdi Chaniago dalam kesempatan tersebut.
Peristiwa ini bermula saat keduanya terlibat dalam pengamanan acara DWP di JIEXpo Kemayoran, Jakarta Pusat, yang berlangsung beberapa waktu lalu. Pada saat tersebut, AJMG dan WTH ditugaskan untuk mengamankan beberapa orang yang diduga terlibat dalam penyalahgunaan narkoba. Namun, alih-alih menjalankan tugas dengan integritas, keduanya malah melakukan pelanggaran etika dengan memeras uang dari mereka yang ditahan dengan janji pembebasan.
Sebagai informasi, AJMG dan WTH telah melanggar Kode Etik Profesi Polri (KEPP), yang diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Untuk AJMG, pelanggaran tersebut mengacu pada Pasal 13 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri juncto Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 5 ayat (1) huruf c, dan Pasal 10 ayat (1) huruf f dalam Peraturan Polri (Perpol) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri. Sementara WTH dikenakan pelanggaran serupa dengan tambahan Pasal 12 huruf b dalam peraturan yang sama.
Tidak hanya demosi, kedua polisi tersebut juga dikenakan sanksi administratif lainnya. Mereka dijatuhi hukuman penempatan di tempat khusus selama 30 hari, yang berlaku mulai 27 Desember 2024 hingga 25 Januari 2025, di Ruang Patsus Biro Provos Divisi Propam Polri. Selain itu, mereka juga diberikan sanksi etika berupa pernyataan bahwa perilaku mereka adalah perbuatan tercela, serta kewajiban untuk meminta maaf secara lisan di depan Majelis Sidang KKEP dan secara tertulis kepada pimpinan Polri. Sanksi lebih lanjut mencakup keharusan untuk mengikuti pembinaan rohani mental dan pengetahuan profesi selama satu bulan.
Kombes Erdi Chaniago menegaskan bahwa hasil pemeriksaan telah mengklasifikasikan dengan jelas peran masing-masing terduga pelanggar, dengan pasal yang sesuai dengan tindakannya dalam pelanggaran kode etik tersebut. “Kami telah memeriksa dan mengklasifikasikan peran masing-masing pelanggar. Setiap pelanggaran dijatuhi pasal sesuai dengan perannya,” ujarnya.
Meski telah dijatuhi sanksi, AJMG dan WTH menyatakan tidak terima dengan keputusan tersebut. Keduanya langsung mengajukan banding atas keputusan yang dijatuhkan oleh KKEP. Langkah hukum ini menunjukkan bahwa mereka belum menerima hasil dari sidang etik tersebut dan berusaha untuk mencari keadilan melalui jalur yang lebih tinggi.
Selain itu, ada kabar yang berkembang mengenai identitas kedua polisi tersebut. Menurut beberapa sumber yang dipercaya, AJMG kemungkinan besar merujuk pada Aiptu Armadi Juli Marasi Gultom, sementara WTH diduga kuat adalah Bripka Wahyu Tri Haryanto. Hal ini didasarkan pada mutasi yang diterima keduanya di Polda Metro Jaya, di mana keduanya sebelumnya bertugas di Bintara Ditresnarkoba Polda Metro Jaya dan kini dipindahkan ke Bintara Yanma Polda Metro Jaya.
Kasus ini mencuat sebagai contoh dari pelanggaran etik yang serius di tubuh kepolisian, yang seharusnya menjaga integritas dalam menjalankan tugas. Pemerasan terhadap warga negara asing ini turut mencoreng citra institusi Polri, yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom masyarakat. Penegakan hukum yang transparan dan tegas, serta pemberian sanksi yang sesuai dengan tingkat pelanggaran, menjadi harapan agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
Proses banding yang diajukan oleh AJMG dan WTH akan segera ditindaklanjuti oleh pihak yang berwenang. Tentunya, publik berharap bahwa hasil dari proses ini dapat menciptakan kepastian hukum yang jelas dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian. Ke depan, Polri diharapkan mampu untuk memperbaiki mekanisme pengawasan internal, agar pelanggaran serupa dapat dicegah sejak dini dan tidak mencoreng citra lembaga yang seharusnya dihormati.