KABARMALAYSIA.COM – Pada Senin, 6 Januari 2025, Divisi Profesi dan Pengamanan (Div Propam) Polri kembali menggelar sidang kode etik terhadap dua anggota Polri yang terduga terlibat dalam kasus pemerasan 45 warga negara Malaysia. Kasus ini mencuat setelah kejadian yang terjadi di tengah kemeriahan konser Djakarta Warehouse Project (DWP) yang berlangsung pada 13 hingga 15 Desember 2024 di JI-Expo Kemayoran, Jakarta Pusat.
Menurut Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Erdi Adrimulan Chaniago, sidang etik terhadap dua polisi ini telah dimulai pada pukul 09.00 WIB dan berlangsung di ruang sidang Divpropam Mabes Polri, Gedung TNCC lantai 1, Jakarta Selatan. “Hari ini, tadi jam 09.00 WIB sudah dilakukan kembali sidang kode etik berjumlah dua orang,” ujar Erdi dalam wawancaranya dengan wartawan di Mabes Polri. Ia juga menambahkan bahwa hasil dari sidang tersebut akan segera disampaikan setelah sidang selesai. “Nanti kita tunggu ya, mudah-mudahan nanti sore bisa kita sampaikan hasil dari sidang tersebut,” tambahnya.
Sidang ini merupakan kelanjutan dari serangkaian sidang etik sebelumnya. Sebelumnya, sebanyak tujuh polisi sudah dihadapkan dengan sidang etik terkait pelanggaran yang sama. Di antara mereka, tiga di antaranya dikenakan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) sebagai anggota Polri, sedangkan empat lainnya mendapat sanksi demosi. Dalam hal ini, demosi adalah tindakan penurunan jabatan, di mana anggota yang dihukum ditempatkan pada jabatan yang lebih rendah selama waktu yang telah ditentukan.
Tiga polisi yang dijatuhi PTDH di antaranya adalah Kombes Donald Parlaungan Simanjuntak, mantan Direktur Reserse Narkoba (Dirresnarkoba) Polda Metro Jaya, yang dianggap bersalah karena membiarkan anggotanya melakukan pemerasan. Selain itu, AKBP Malvino Edward Yusticia, mantan Kasubdit III Ditresnarkoba Polda Metro Jaya, dan AKP Yudhy Triananta Syaeful, mantan Panit 1 Unit 3 Subdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya, yang terbukti terlibat langsung dalam aksi pemerasan tersebut, juga dipecat.
Sementara itu, sanksi demosi diberikan kepada tiga polisi lainnya. Mereka adalah Kompol Dzul Fadlan, mantan Kanit 5 Subdit 2 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya; Iptu Syaharuddin, mantan Panit 1 Unit 2 Subdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya; dan Iptu Sehatma Manik, mantan Bhayangkara Administrasi Penyelia Bidang Subdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya. Ketiganya mendapat sanksi demosi selama 8 tahun.
Selain itu, Brigadir Fahrudin Rizki Sucipto, mantan Bintara Ditresnarkoba Polda Metro Jaya, dijatuhi sanksi demosi selama 5 tahun. Demosi adalah hukuman yang menempatkan polisi pada jabatan yang lebih rendah dalam jangka waktu tertentu, sebagai bentuk sanksi terhadap tindakan yang melanggar kode etik profesi.
Kasus pemerasan ini melibatkan 18 polisi yang diduga memeras sejumlah WN Malaysia yang hadir dalam konser Djakarta Warehouse Project (DWP) di Jakarta pada Desember 2024. Kejadian tersebut terjadi di tengah keramaian acara yang dihadiri oleh banyak pengunjung, terutama dari Malaysia. Polisi yang terlibat berasal dari berbagai satuan, termasuk Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Pusat, dan Polsek Kemayoran.
Penyelidikan yang dilakukan oleh Divisi Propam Polri mengungkapkan bahwa para polisi ini meminta uang kepada para WN Malaysia yang sedang menikmati konser tersebut, dengan dalih melakukan pemeriksaan. Uang yang diduga hasil pemerasan tersebut kemudian disita oleh pihak kepolisian. Berdasarkan laporan, uang yang berhasil disita mencapai Rp2,5 miliar, yang diduga merupakan hasil dari pemerasan yang dilakukan selama acara tersebut.
Barang bukti berupa uang tersebut disimpan dalam rekening yang telah disiapkan, dan menurut pihak Div Propam, uang tersebut akan dikembalikan kepada korban setelah proses sidang etik selesai. Penyelidikan ini menjadi bukti kuat bahwa aksi pemerasan yang melibatkan polisi tersebut memang terstruktur, dan kini mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka sesuai dengan kode etik profesi Polri.
Pengaruh Kasus Terhadap Kepercayaan Masyarakat
Kasus ini mencoreng citra Polri, terutama dalam konteks upaya menciptakan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Tindakan pemerasan yang dilakukan oleh anggota Polri terhadap WN Malaysia menunjukkan betapa seriusnya pelanggaran yang terjadi. Publik menuntut agar setiap pelanggaran, baik yang melibatkan polisi maupun masyarakat, ditindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.
Dalam hal ini, pengawasan dan penegakan kode etik profesi Polri menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa institusi kepolisian tidak hanya efektif dalam menegakkan hukum, tetapi juga memelihara integritas anggotanya. Oleh karena itu, sidang etik yang terus berlangsung di Mabes Polri ini menjadi langkah penting dalam upaya memperbaiki moralitas dan profesionalisme Polri, serta untuk memberikan pesan yang jelas bahwa pelanggaran terhadap kode etik tidak akan dibiarkan begitu saja.
Dalam waktu yang tidak lama lagi, hasil akhir dari sidang etik ini akan diumumkan, dan masyarakat berharap agar tindakan yang tegas dan adil akan diambil terhadap anggota Polri yang terlibat dalam pemerasan ini. Selain itu, kasus ini juga menjadi pelajaran bagi semua pihak, terutama anggota Polri, bahwa menjaga kepercayaan publik adalah hal yang sangat penting untuk menciptakan sistem hukum yang adil dan profesional.