KABARMALAYSIA.COM – Amerika Serikat mengumumkan aturan baru terkait ekspor chip untuk kecerdasan buatan (AI) pada Senin lalu. Kebijakan ini memperkuat upaya membatasi akses China dan negara pesaing lainnya terhadap teknologi canggih di masa akhir jabatan Presiden Joe Biden.
Pengumuman ini menuai reaksi keras dari Beijing dan kritik dari industri chip AS. Uni Eropa juga menyampaikan kekhawatirannya terhadap pendekatan ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, Washington semakin memperluas pembatasan ekspor chip canggih ke China yang berpotensi digunakan dalam pengembangan AI dan sistem persenjataan. Kemajuan teknologi di China menjadi perhatian serius bagi pembuat kebijakan di AS.
“AS saat ini memimpin dunia dalam pengembangan AI dan desain chip AI. Sangat penting bagi kita untuk mempertahankan posisi ini,” kata Menteri Perdagangan AS, Gina Raimondo.
Aturan baru ini memperbarui pengawasan ekspor chip dengan mewajibkan izin untuk ekspor, re-ekspor, dan transfer di dalam negeri. Namun, terdapat pengecualian untuk negara-negara yang dianggap sebagai mitra strategis AS.
Negara yang tidak masuk dalam daftar pengecualian akan menghadapi batasan jumlah impor chip canggih. Sementara itu, pusat data AI diwajibkan memenuhi standar keamanan yang lebih ketat untuk dapat mengimpor chip tersebut.
Selain itu, pembatasan juga diperketat terkait berbagi model AI yang canggih.
Kementerian Perdagangan China menyebut kebijakan ini sebagai “pelanggaran terang-terangan” terhadap aturan perdagangan internasional dan berjanji akan “tegas melindungi” kepentingannya.
Uni Eropa menyuarakan kekhawatiran bahwa kebijakan AS ini dapat memengaruhi kerja sama global. Mereka menegaskan bahwa Eropa bukanlah “ancaman keamanan.”
Dari sisi industri, kebijakan ini mendapat kritik keras. CEO Semiconductor Industry Association, John Neuffer, menyatakan kekecewaannya karena kebijakan sebesar ini dikeluarkan menjelang pergantian presiden tanpa masukan signifikan dari industri.
“Aturan ini berpotensi merusak perekonomian dan daya saing global Amerika dalam jangka panjang dengan menyerahkan pasar utama kepada para pesaing,” ujarnya.
Perusahaan chip terkemuka, Nvidia, dalam unggahan blog menyebutkan bahwa aturan ini, meskipun diklaim sebagai langkah anti-China, tidak memberikan kontribusi nyata terhadap keamanan AS.
OpenAI dalam laporan terbarunya mendorong pemerintah untuk mendukung pertumbuhan industri AI. Mereka menilai ekspor model canggih secara bertanggung jawab ke negara mitra akan membantu membangun ekosistem AI global.
Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih, Jake Sullivan, mengatakan aturan ini bertujuan menyulitkan pesaing strategis AS menggunakan penyelundupan dan akses jarak jauh untuk menghindari pengawasan ekspor.
Aturan ini juga menciptakan insentif bagi mitra global untuk menggunakan vendor terpercaya dalam teknologi AI. Aturan ini akan berlaku dalam 120 hari, memberikan waktu bagi pemerintahan Presiden terpilih Donald Trump untuk mengevaluasi atau mengubah kebijakan tersebut.
Namun, membekukan aturan ini berisiko membuat China berpeluang menimbun perangkat keras AS, kata seorang pejabat senior AS.
Asosiasi Industri Komputer dan Komunikasi memperingatkan bahwa aturan ini dapat menghambat perusahaan AS dalam menerapkan semikonduktor canggih di pusat data luar negeri.
Nvidia menegaskan bahwa pada masa jabatan pertama Trump, AS berhasil melalui inovasi, persaingan, dan berbagi teknologi dengan dunia, bukan dengan menarik diri di balik kebijakan pemerintah yang berlebihan.
Selama masa pemerintahan sebelumnya, Trump memberlakukan tarif tinggi pada China. Namun, para pendukungnya di Silicon Valley mungkin melihat aturan baru ini sebagai hambatan dalam ekspor produk.
Pada hari pengumuman aturan tersebut, saham Nvidia turun sekitar dua persen.
Information Technology and Innovation Foundation (ITIF) menyatakan bahwa memaksa negara-negara memilih antara Washington dan Beijing dapat mengasingkan mitra dan justru memperkuat posisi China di AI global.
“Banyak negara mungkin memilih pihak yang menawarkan akses tanpa hambatan ke teknologi AI yang penting bagi pertumbuhan ekonomi dan masa depan digital mereka,” kata Wakil Presiden ITIF, Daniel Castro.