KabarMalaysia.com – KUALA LUMPUR, Pada Hari Senin (25/11/2024), Sebanyak 105 warga negara Indonesia (WNI) dideportasi dari Malaysia melalui Pelabuhan Stulang Laut di Johor Bahru menuju Pelabuhan Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, pada Kamis (14/11/2024).
Di balik deportasi ini, tersimpan berbagai cerita perjuangan hidup yang penuh warna, mulai dari upaya mencari nafkah, tantangan hukum, hingga harapan baru di Tanah Air.
Ahmad Bustami (25), salah satu deportan asal Lhokseumawe, Aceh, membagikan kisahnya. Selama empat tahun tinggal di Malaysia, ia sempat berpindah-pindah pekerjaan.
Dua tahun pertama ia hidup tanpa pekerjaan tetap, hingga akhirnya mendapat pekerjaan di sebuah restoran di Johor. Namun, perjalanan hidupnya terhenti ketika ia ditangkap pihak imigrasi.
Ahmad mengungkapkan bahwa sebagian gajinya telah dikirimkan ke kampung halaman untuk membantu keluarganya. Namun, penangkapannya membuatnya harus kembali ke Indonesia tanpa kepastian masa depan.
“Saya sudah bicara dengan kakak di Jakarta. Katanya, lebih baik saya ke sana saja mencari kerja daripada pulang ke Aceh,” ujarnya dengan nada pasrah.
Moh Rizky Maulana (20), pemuda asal Kediri, Jawa Timur, juga memiliki cerita serupa. Berbekal semangat, ia memasuki Malaysia melalui jalur turis dan bekerja di restoran Johor Bahru.
Meski baru sebulan bekerja dan menerima gaji sebesar RM1.800 (sekitar Rp6,3 juta), Rizky harus berurusan dengan pihak berwenang. Ia menjalani hukuman penjara selama dua bulan, diikuti penahanan 3,5 bulan di Depo Imigresen Pekan Nenas.
“Pengalaman ini membuat saya sadar pentingnya bekerja dengan jalur resmi. Saya ingin kembali ke Kalimantan dan bekerja di sana saja,” kata Rizky, yang sebelumnya pernah bekerja di tambang batu bara di Kalimantan Timur.
Hotmaulina Sitohang (35), asal Medan, Sumatera Utara, membawa cerita perjuangan seorang ibu. Ia dideportasi bersama bayinya yang masih berusia 6,5 bulan setelah ditangkap di Malaysia. Suaminya, yang memiliki visa kerja sah, tidak dapat mendampingi mereka.
Selama masa penahanan, bayi mungil itu menjadi simbol kekuatan bagi ibunya. “Banyak teman-teman yang membantu mengasuh anak saya. Mereka bergantian menggendong dan bermain dengannya,” ujar Hotmaulina, yang merasa lega akhirnya bisa kembali ke Tanah Air.
Andriko (42), pemegang kartu MyPR atau izin penduduk tetap Malaysia, menjadi salah satu deportan dengan cerita yang unik. Ia bekerja sebagai sopir truk logistik dengan penghasilan tinggi, mencapai RM9.000 (sekitar Rp32 juta) per bulan.
Namun, sebuah kasus hukum terkait kepemilikan burung murai batu—satwa dilindungi di Malaysia—membuatnya harus meninggalkan negeri tersebut.
“Hati saya hancur. Anak saya yang masih kecil harus tinggal dengan mantan istri saya di Malaysia. Saya juga kehilangan pekerjaan dan dana pensiun saya di sana,” ujar Andriko, yang kini harus mencari cara untuk memulai hidup baru.
Sanjaya Ariopan (24), asal Lombok Timur, adalah salah satu deportan yang mengetahui program *Rekalibrasi Pemulangan* pemerintah Malaysia.
Program ini menawarkan peluang bagi pekerja migran nonprosedural untuk pulang tanpa proses hukum berat, hanya dengan membayar denda sebesar RM500 (sekitar Rp1,8 juta).
Namun, rasa takut dan ketidaktahuan membuatnya tidak memanfaatkan kesempatan tersebut.
“Kalau tahu begini, lebih baik saya mengurus pulang lewat jalur itu daripada harus masuk depo,” katanya sambil tersenyum lega setelah kembali ke Indonesia. Kisah para WNI ini mencerminkan potret perjuangan rakyat Indonesia yang mencari penghidupan di luar negeri.
Mereka adalah bagian dari bonus demografi Indonesia yang menjadi tumpuan harapan menuju Indonesia Emas 2045. Namun, perjalanan mereka juga menunjukkan pentingnya jalur legal dalam bekerja di luar negeri.
Melalui pengalaman ini, pemerintah diharapkan dapat meningkatkan sosialisasi dan mempermudah prosedur kerja bagi calon pekerja migran. Dengan demikian, tenaga kerja Indonesia dapat bekerja di luar negeri secara terlindungi dan bermartabat.
Bagi Ahmad, Rizky, Hotmaulina, Andriko, dan Sanjaya, kepulangan mereka adalah awal baru untuk membangun kehidupan di Tanah Air. Meski berat, mereka tetap menyimpan harapan untuk masa depan yang lebih baik.