KabarMalaysia.com – KUALA LUMPUR, Pada Hari Senin (25/11/2024), Upaya pemerintah Indonesia memulangkan warga negara Indonesia (WNI) dari luar negeri kembali menjadi sorotan, terutama ketika mereka berada dalam situasi rentan.
Pada Kamis (14/11/2024), sebanyak 105 WNI yang menjalani hukuman di Malaysia dideportasi dari Depo Imigresen Pekan Nenas, Johor, menuju Tanah Air.
Proses deportasi ini melibatkan banyak pihak, mulai dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Johor Bahru hingga Kementerian Sosial melalui Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) Tanjung Pinang. Kolaborasi ini bertujuan memastikan setiap WNI yang dipulangkan mendapatkan perlakuan bermartabat.
Pagi itu, pukul 08.30 waktu setempat, 105 WNI tiba di Pelabuhan Stulang Laut, Johor Bahru. Mereka datang dengan berbagai kondisi; sebagian besar hanya mengenakan pakaian yang mereka pakai saat ditangkap. Barang-barang pribadi mereka, seperti dompet dan dokumen, dibawa dalam kantong plastik.
KJRI Johor Bahru memberikan tas merah berisi kaus bertuliskan Pemulangan Bermartabat KJRI Johor Bahru, yang langsung dikenakan oleh para deportan. “Ini untuk memudahkan pengawasan selama perjalanan,” ujar Jati H. Winarto, Koordinator Fungsi Konsuler KJRI Johor Bahru, yang turut mendampingi proses ini.
Proses imigrasi berlangsung hingga pukul 10.23, sebelum mereka diberangkatkan dengan kapal cepat menuju Tanjung Pinang.
Sebanyak 14 petugas Depo Imigresen Malaysia turut mendampingi, bersama empat staf KJRI. Dalam perjalanan dua jam menyusuri Selat Johor, banyak deportan memilih berdiam diri, sesekali membeli makanan kecil yang dijual di atas kapal.
Kapal tiba di Pelabuhan Tanjung Pinang sekitar pukul 12.55 WIB. Para deportan langsung menjalani pemeriksaan oleh petugas Imigrasi dan Bea Cukai. Setelah itu, mereka dibawa ke RPTC Tanjung Pinang untuk rehabilitasi dan asesmen lebih lanjut.
Sulistyaningsih, Koordinator RPTC Tanjung Pinang, menyampaikan bahwa para WNI ini akan diberikan bimbingan sosial dan psikologis sebelum dipulangkan ke daerah asal masing-masing.
“Kami berupaya memastikan mereka dapat menjalani reintegrasi dengan baik, termasuk memberikan bekal keterampilan untuk masa depan,” jelasnya.
Proses pemulangan ini menjadi cerminan tantangan besar dalam melindungi pekerja migran Indonesia (PMI), terutama yang berstatus nonprosedural.
Kepala Subdirektorat Kawasan Asia Tenggara Direktorat Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Rina Komaria, menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor.
“Kerja keras teman-teman di lapangan, seperti Perwakilan RI dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), harus didukung kebijakan nasional yang komprehensif,” kata Rina.
Menurutnya, perlindungan PMI harus dimulai dari hulu, yakni dengan mencegah keberangkatan nonprosedural. Edukasi mengenai migrasi aman, peningkatan keterampilan, dan pemberdayaan ekonomi di daerah asal menjadi kunci mengurangi kasus serupa di masa depan.
Deportasi ini juga dipengaruhi operasi besar-besaran terhadap pendatang asing tanpa izin (PATI) di Malaysia. Menjelang berakhirnya program Rekalibrasi Pulang pada akhir 2024, pihak Imigrasi Malaysia semakin gencar melakukan razia.
Pada Maret 2024, Menteri Dalam Negeri Malaysia mengungkapkan bahwa 3.797 WNI masih ditahan di depo imigrasi.
“Setiap operasi selalu ada WNI yang tertangkap. Ini menjadi pekerjaan rumah bersama untuk mencegah migrasi nonprosedural,” tambah Rina.
Kasus ini menunjukkan bahwa pemulangan semata tidak cukup menyelesaikan akar masalah. Edukasi, pencegahan, dan pengawasan keberangkatan PMI harus ditingkatkan.
Selain itu, pemerintah juga perlu mendorong kerja sama bilateral dengan Malaysia untuk memastikan perlakuan yang lebih baik terhadap WNI selama proses hukum dan penahanan.
Pemulangan 105 WNI ini menjadi pengingat bahwa setiap individu yang menjadi bagian dari migrasi internasional berhak mendapatkan perlindungan bermartabat.
Pemerintah, masyarakat, dan para calon pekerja migran harus bersama-sama menciptakan ekosistem migrasi yang aman dan terlindungi.